Kamis, 06 Februari 2014

REHABILITASI EKOSISTEM MANGROVE

Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia.  Berdasarkan statusnya tersebut, Indonesia menjadi salah satu negara yang memiliki potensi sumber daya pesisir dan lautan sangat besar.  Potensi tersebut tersebar di seluruh ekosistem pesisir dan lautnya.  Ekosistem pesisir yang menjadi salah satu daerah dengan sumber daya alam melimpah tersebut adalah ekosistem mangrove.

Ekosistem mangrove merupakan suatu formasi hutan yang mampu tumbuh dan berkembang di daerah tropik dan subtropik pada lingkungan pesisir dan merupakan salah satu sumber daya alam yang sangat potensial.  Jika pelaksanaan pengelolaannya dilakukan dengan tidak bijaksana, keberadaan ekosistem mangrove dengan nilai ekonomis dan ekologis yang tinggi ini akan sulit dipertahankan.  Hal ini dapat terjadi karena ekosistem mangrove memiliki tingkat kerentanan yang sangat tinggi terhadap kerusakan yang ditimbulkan oleh adanya kegiatan manusia.

Nah, tau tidak seperti apa kondisi ekosistem mangrove yang ada di Indonesia saat ini?.  Menurut Direktorat Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial (RLPS) tahun 1999 luas hutan mangrove Indonesia adalah 8,6 juta ha yang terdiri atas 3,8 juta ha terdapat di kawasan hutan dan 4,8 juta ha terdapat di luar kawasan hutan.  Sementara itu, berdasarkan kondisinya diperkirakan bahwa 1,7 juta ha (44,73 %) di dalam kawasan hutan dan 4,2 juta ha (87,50 %) hutan mangrove di luar kawasan hutan dalam keadaan rusak (Saparinto, 2007).

Kondisis tersebut sangatlah memprihatinkan. Meskipun data tersebut adalah data tahun 1999, namun dengan makin pesatnya peningkatan pembangunan di Indonesia. rasanya tidak sulit untuk membayangkan kondisi ekosistem mangrove di Indonesia saat ini. Untuk melindungi kelestarian dari ekosistem mangrove, ada beberapa hal yang dapat dilakukan. Salah satunya adalah REHABILITASI ekosistem mangrove. Apasih rehabilitasi itu?.

Menurut Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor : P. 39/Menhut-ii/2010 Tentang Pola Umum, Kriteria, dan Standar Rehabilitasi dan Reklamasi Hutan, Rehabilitasi hutan dan lahan adalah upaya untuk mengembalikan dan meningkatkan fungsi hutan dan lahan sehingga daya dukung, produktivitas dan peranannya dalam mendukung sistem penyangga kehidupan tetap terjaga. Menurut Bengen (1999) Rehabilitasi hutan mangrove adalah upaya mengembalikan fungsi hutan mangrove yang mengalami degradasi kepada kondisi yang dianggap baik dan mampu mengemban fungsi ekologis dan ekonomis. Berbagai kegiatan penghijauan yang dilakukan terhadap hutan-hutan yang gundul merupakan salah satu upaya rehabilitasi yang bertujuan bukan saja untuk mengembalikan nilai estetika, namun yang paling utama adalah untuk mengembalikan fungsi ekologis kawasan hutan mangrove tersebut.  Kegiatan rehabilitasi ini telah menjadi salah satu andalan di beberapa kawasan hutan mangrove yang telah ditebas dan dialihkan fungsinya kepada kegiatan lain.

Dalam kegiatan rehabilitasi, diperlukan suatu sistem pengelolaan yang baik agar kegiatan tersebut dapat berjalan dengan baik dan mampu memberi manfaat secara optimal.  Banyak hal yang mesti dilakukan agar resiko kegagalan dalam kegiatan rehabilitasi dapat diminimalkan.  Oleh sebab itu, Kustanti (2011) mengemukakan bahwa dalam suatu kegiatan rehabilitasi diperlukan perencanaan yang tepat dari awal persiapan tanam sampai dengan pemeliharaan, monitoring dan evaluasi.  Perencanaan yang dilakukan adalah meliputi  luas lahan yang akan ditanam, jenis-jenis bibit yang diperlukan, jumlah dan kualitas bibit, pengangkutan, persiapan lapangan, persiapan bahan penanda tanaman, persiapan tenaga kerja, jadwal penanaman, pemeliharaan, monitoring dan evaluasi.

Beralih ke masalah penanaman, terdapat beberapa cara penanaman mangrove khususnya dalam kegiatan rehabilitasi yaitu penanaman yang dilakukan secara langsung maupun menggunakan anakan baik anakan yang berasal dari persemaian ataupun anakan yang berasal dari alam. Menurut Kustanti (2011), penanaman mangrove dapat dilakukan secara langsung dimana jenis-jenis pohon yang biasa ditanam dengan cara ini merupakan jenis dari api-api (Avicennia marina) dan dari jenis Rhizophoraceae  (Rhizophora apiculata dan R. mucronata).  Penanaman secara langsung ini memiliki beberapa keuntungan dan kelemahan. Kusmana dkk., (2003), mengemukakan bahwa penanaman mangrove secara langsung memiliki keuntungan seperti penanganannya yang lebih mudah karena propagul lebih ringan dan sederhana bentuknya; biaya penanamannya relativ murah karena tidak memerlukan biaya persemaian serta dapat dilakukan dalam waktu yang relativ singkat.  Namun, penanaman menggunakan cara ini memiliki kelemahan yaitu kegiatan penanaman hanya terbatas pada waktu musim berbuah masak dan propagul relativ lebih mudah diganggu oleh kepiting dan teritip.  

Selain penanaman secara langsung, mangrove dalam kegiatan rehabilitasi juga dapat ditanam dengan cara menggunakan anakan baik anakan yang berasal dari persemaian maupun anakan yang berasal dari alam.  Kusmana dkk., (2003) menyatakankan bahwa penanaman menggunakan anakan yang berasal dari persemaian merupakan sebuah cara yang efektif dalam mengatasi masalah pemangsaan oleh kepiting, kera, maupun gangguan dari tumbuhan pakis Acrosticum (sebagai gulma).  Jenis-jenis mangrove yang ditumbuhkan di persemaian biasanya mempunyai propagul pendek atau berupa biji. Keuntungan penanaman menggunakan anakan yang berasal dari persemaian ini antara lain yaitu lebih fleksibel dari segi jadwal penanaman, kualitas bahan tanaman lebih mudah untuk diseragamkan, peluang keberhasilannya lebih besar, pertumbuhannya lebih cepat serta cukup tahan terhadap gangguan hama.

Selanjutnya, Kusmana dkk., (2003) juga menjelaskan lebih lanjut bahwa selain penanaman secara langsung dan menggunakan anakan dari persemaian, penanaman mangrove juga dapat dilakukan dengan menggunakan anakan yang berasal dari alam.  Penggunaan anakan yang berasal dari alam mempunyai keunggulan antara lain yaitu lebih efektif dalam mengatasi faktor perusak seperti gangguan kepiting, monyet dan jenis paku (Acrosticum sp.).  Selain itu, penggunaan bibit dari alam ini lebih efisien dari segi biaya dibandingkan dengan menggunakan anakan yang berasal dari persemaian. Akan tetapi, penggunaan anakan dari alam ini lebih mahal dan hanya direkomendasikan pada beberapa tempat saja.

Dalam pelaksanaan kegiatan rehabilitasi atau penanaman mangrove, ada dua sistem penanaman yang sering digunakan.  Menurut Kusmana dkk., (2003), dua sistem penanaman yang sering digunakan tersebut adalah sistem banjar harian dan sistem tumpang sari atau yang lebih sering disebut dengan sistem wanamina (sylvofishery).  Sistem penanaman banjar harian merupakan sistem penanaman dimana benih atau bibit ditanam secara tegak.  Pada penanaman menggunakan benih, penanaman dilakukan dengan menghadapkan benih ke arah atas dengan kedalaman kurang lebih sepertiga dari panjang benih.  Adapun penanaman dengan menggunakan bibit, bibit ditanam secara tegak ke dalam lubang yang telah disiapkan dengan melepaskan kantong plastik atau botol air mineral bekas secara hati-hati agar tidak merusak akarnya. 

Pada penanaman mangrove dengan sistem wana mina (sylvofishery), prinsip penanaman benih atau bibit yang ada tidak memiliki perbedaan dengan sistem penanaman banjar harian.  Akan tetapi, sistem wana mina mnggunakan tambak/kolam  dan saluran air untuk membudidayakan ikan.  Sehingga, terdapat perpaduan antara tanaman mangrove (wana) dan budi daya sumber daya ikan (mina).  Secara umum, terdapat tiga pola dalam sistem  wana mina.  Ketiga pola tersebut antara lain adalah wanamina dengan pola empang parit dimana lahan untuk hutan mangrove dan empang masih menjadi satu hamparan yang diatur oleh satu pintu air; wanamina dengan pola empang parit yang disempurnakan dimana hutan mangrove dan empang diatur oleh saluran air yang terpisah; dan wana mina dengan pola komplangan dimana lahan untuk hutan mangrove dan empang terpisah dalam dua hamparan yang diatur oleh saluran air dengan dua pintu yang terpisah untuk hutan mangrove dan empang (Kustanti, 2011).

Penanaman mangrove dapat dilakukan dengan jarak tanam yang tergantung pada tujuan penanaman.  Kustanti (2011) menyatakan bahwa bilapenanaman mangrove dilakukan dengan tujuan untuk perlindungan pantai, bibit atau benih dapat ditanam pada jarak 1x1 m.  Tetapi jika untuk produksi, bibit atau benih mangrove dapat ditanam dalam jarak 2x2 m.  adapun pemilihan jenis tanaman yang akan ditanam, dapat disesuaikan dengan zonasi ataupun tujuan dari penanaman mangrove di lokasi tersebut.  Bilapenanaman mangrove dilakukan untuk penahan abrasi,  jenis pohon yang dapat ditanam adalah mangrove dari jenis Rhizophora spp.  Namun bila penanaman mangrove bertujuan untuk penghijauan, maka penanaman dapat dilakukan dengan memilih mangrove dari jenis Api-api (Avicennia spp.).

Bengen (1999) menyatakan bahwa pelestarian hutan mangrove merupakan suatu usaha yang sangat kompleks untuk dilaksanakan, karena kegiatan tersebut sangat membutuhkan sifat akomodatif terhadap segenap pihak baik yang berada di sekitar kawasan maupun di luar kawasan.  Pada dasarnya kegiatan ini dilakukan demi memenuhi kebutuhan dari berbagai kepentingan.  Namun demikian, sifat akomodatif ini akan lebih dirasakan manfaatnya jika keberpihakan dengan porsi yang lebih besar diberikan kepada masyarakat yang sangat rentan terhadap sumber daya mangrove.  Dengan demikian, yang perlu diperhatikan adalah menjadikan masyarakat sebagai komponen utama penggerak pelestarian hutan mangrove.  Oleh karena itu, persepsi masyarakat terhadap keberadaan hutan mangrove perlu untuk diarahkan kepada cara pandang masyarakat akan pentingnya sumber daya hutan mangrove.

 

REFRENSI

Bengen, D.G. 1999. Pedoman Teknis Pengenalan dan Pengelolaan Ekosistem Mangrove. Pusat  Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan (PKSPL).

Kusmana, C., S. Wilarso, I. Hilwan, P. Pamoengkas, C. Wibowo, T. Tiryana, A. Triswanto, Yunasfi, Hamzah, 2003. Teknik Rehabilitasi Mangrove. Fakultas Kehutanan IPB. Bogor. 177 Hal.

Kustanti, A., 2011. Manajemen Hutan Mangrove. IPB Press. Bogor. 348 hal.

Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor : P. 39/Menhut-ii/2010 Tentang Pola Umum, Kriteria, dan Standar Rehabilitasi dan Reklamasi Hutan, Rehabilitasi hutan dan lahan.

Saparinto, C. 2007. Pendayagunaan Ekosistem Mangrove. Dahara prize. Semarang. 236 hal.

 

 

*Perhatian : Bacaan ini adalah tulisan dari beberapa ahli yang kemudian dikumpulkan dan dikemas menjadi suatu pembahasan singkat mengenai REHABILITASI khususnya pada ekosistem mangrove.

Sabtu, 10 Maret 2012

MANGROVE
“Ekosistem dengan Sejuta Manfaat”
A. Apasih Mangrove itu,,,??
Ekosistem mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis, yang di didominasi oleh beberapa spesies pohon mangrove yang mampu tumbuh dan berkembang pada daerah pasang surut pantai berlumpur. Komunitas vegetasi ini umumnya tumbuh pada daerah intertidal dan supratidal yang cukup mendapat aliran air, dan terlindung dari gelombang besar dan arus pasang-surut yang kuat. Karena itu, hutan mangrove banyak ditemukan di pantai-pantai teluk yang dangkal, estuaria, delta dan daerah pantai yang terlindung (Bengen, 2004).
Ekosistem mangrove dikenal juga dengan istilah tidal forest, coastal woodland, vloedbosschen dan hutan payau (bahasa Indonesia). Selain itu, ekosistem mangrove oleh masyarakat Indonesia dan negara Asia Tenggara lainnya yang berbahasa Melayu sering disebut dengan hutan bakau. Penggunaan istilah hutan bakau untuk ekosistem mangrove sebenarnya kurang tepat dan rancu, karena bakau hanyalah nama lokal dari marga Rhizophora, sementara ekosistem mangrove disusun dan ditumbuhi oleh banyak marga dan jenis tumbuhan lainnya. Oleh karena itu, penyebutan ekosistem mangrove dengan hutan bakau sebaiknya dihindari (Kusuma et al, 2003 dalam Irwanto, 2007).
Selanjutnya, Pramudji (2010) menerangkan bahwa Ekosistem mangrove adalah suatu formasi hutan yang mampu tumbuh dan berkembang di daerah tropik dan subtropik pada lingkungan pesisir yang berkadar garam sangat ekstrim, jenuh air, kondisi tanah yang tidak stabil dan anaerob yang selalu dipengaruhi pasang-surut. Walaupun keberadaan hutan mangrove ini tidak tergantung pada iklim, namun umumnya hutan ini tumbuh dan berkembang pada kawasan pesisir yang terlindung dari hempasan ombak, serta ditopang oleh adanya aliran sungai yang selalu membawa material.
Menurut Irwanto (2006), Mangrove adalah tanaman pepohonan atau komunitas tanaman yang hidup di antara laut dan daratan yang dipengaruhi oleh pasang surut. Habitat mangrove seringkali ditemukan di tempat pertemuan antara muara sungai dan air laut yang kemudian menjadi pelindung daratan dari gelombang laut yang besar. Sungai mengalirkan air tawar untuk mangrove dan pada saat pasang, pohon mangrove dikelilingi oleh air garam atau air payau. Mangrove adalah jenis tanaman dikotil yang hidup di habitat payau. Kelompok pohon di daerah mangrove bisa terdiri atas suatu jenis pohon tertentu saja atau sekumpulan komunitas pepohonan yang dapat hidup di air asin. Mangrove biasa ditemukan di sepanjang pantai daerah tropis dan subtropis, antara 32° Lintang Utara dan 38° Lintang Selatan.
Mangrove adalah suatu komunitas tumbuhan atau suatu individu jenis tumbuhan yang membentuk komunitas tersebut di daerah pasang surut, hutan mangrove atau yang sering disebut hutan bakau merupakan sebagian wilayah ekosistem pantai yang mempunyai karakter unik dan khas, dan memiliki potensi kekayaan hayati. Ekosistem mangrove adalah suatu sistem yang terdiri atas lingkungan biotik dan abiotik yang saling berinteraksi di dalam suatu habitat mangrove (Mulyadi, 2006).
Selanjutnya, Mulyadi (2006) juga menjelaskan bahwa mangrove merupakan ekosistem yang terdapat di antara daratan dan lautan dan pada kondisi yang sesuai mangrove akan membentuk hutan yang ekstensif dan produktif. Karena hidupnya di dekat pantai, mangrove sering juga dinamakan hutan pantai, hutan pasang surut, hutan payau, atau hutan bakau. Istilah bakau itu sendiri dalam bahasa Indonesia merupakan nama dari salah satu spesies penyusun hutan mangrove yaitu Rhizophora sp. Sehingga dalam percaturan bidang keilmuan untuk tidak membuat bias antara bakau dan mangrove maka hutan mangrove sudah ditetapkan merupakan istilah baku untuk menyebutkan hutan yang memiliki karakteristik hidup di daerah pantai.
B. Habitat dan Penyebaran
Mangrove hidup di daerah antara level pasang naik tertinggi (maximum spring tide) sampai level disekitar atau di atas permukaan laut rata-rata (mean sea level). Komunitas (tumbuhan) hutan mangrove hidup di daerah pantai terlindung di daerah tropis dan subtropis (Supriharyono, 2009). Mc Gill dalam Supriharyono (2009) mengatakan bahwa hampir 75 % tumbuhan mangrove hidup antara 350LU-350LS, dan terbanyak terdapat di kawasan Asia Tenggara, seperti Malaysia, Sumatera dan bebrapa daerah di Kalimantan yang mempunyai curah hujan tinggi dan bukan musiman. Irwanto (2006) mengemukakan bahwa mangrove biasa ditemukan di sepanjang pantai daerah tropis dan subtropis, antara 32° Lintang Utara dan 38° Lintang Selatan.
Mangrove mampu tumbuh dan berkembang pada daerah pasang surut pantai berlumpur. Komunitas vegetasi ini umumnya tumbuh pada daerah intertidal dan supratidal yang cukup mendapat aliran air dan terlindung dari gelombang besar dan arus pasang-surut yang kuat. Hal tersebut menyebabkan hutan mangrove banyak ditemukan di pantai-pantai teluk yang dangkal, estuaria, delta dan daerah pantai yang terlindung (Bengen, 2004).
Secara umum mangrove tumbuh pada daerah intertidal dan supratidal yang selalu dipengaruhi oleh aliran air tawar, serta terlindung dari pukulan ombak. Oleh karena itu, mangrove banyak tumbuh dan berkembang di kawasan pesisir teluk yang dialiri sungai dan pulau-pulau kecil. Mangrove sangat cocok tumbuh pada kawasan yang terlindung dan memiliki lingkungan yang memungkinkan terjadinya endapan (sedimen), misalnya daerah muara sungai atau delta. Secara umum, mangrove dicirikan tumbuh pada substrat yang memiliki kadar garam (salinitas) dan suhu yang tinggi, kadar oksigen yang rendah, serta substrat tanah berlumpur yang mengandung sisa-sisa bahan organik (Pramudji, 2010).
C. Zonasi Mangrove
Wijayanti dkk, (2005) dalam Adiwijaya (2006) menyatakan bahwa, berdasarkan jenis-jenis pohon penyusun formasi hutan dari arah laut ke daratan, mangrove dapat dibedakan 4 zonasi, yaitu :
1. Zone Api - api (Avicennia Sonneratia)
Terletak paling luar atau terdekat dengan laut, keadaan tanah berlumpur, agak lembek, dangkal, terdiri dari sedikit bahan organik dengan kadar gram agak tinggi. Zone ini didominasi oleh jenis pohon pedada dan api-api sebagai pionir yang memagari daratan dari kondisi laut dan angin. Jenis-jenis ini mampu hidup di tempat yang biasa terendam air waktu pasang karena mempunyai akar pasak.
2. Zone Bakau (Rhizopora)
Terletak di belakang zona api - api prepat, keadaan tanah lembek, dalam, daerah ini tidak selalu terendam air, hanya kedang-kadang saja terendam air. Banyak ditumbuhi oleh jenis bakau (Rhizophora spp.).
3. Zone Tancang (Bruguiera)
Terletak di belakang zona bakau, agak jauh dari laut dekat dengan daratan. Daerah ini tanahnya agak keras karena hanya sesekali terendam air yaitu pada saat pasang yang besar dan permukaan laut lebih tinggi dari biasanya. Pada umumnya ditumbuhi jenis Bruguiera spp.
4. Zone Nipah (Nypa Fructicance)
Terletak paling jauh dari laut atau paling dalam kearah darat. Zone ini salinitas airnya sangat rendah dan tanahnya keras, kurang dipengaruhi pasang surut. Pada umumnya ditumbuhi jenis Nipah.
Selain itu, De Haan dalam Bengen (2004) membagi zonasi mangrove berdasarkan salinitas sebagaimana berikut :
1. Zona air payau hingga air laut dengan salinitas pada waktu terendam air pasang berkisar antara 10-30 ‰. Pada zona ini, area yang terndam sekali atau dua kali sehari selama 20 hari dalam sebulan hanya Rhizophora mucronata yang masih dapat tumbuh. Pada area yang terendam 10-19 kali per-bulan ditemukan Avicennia (A. alba, A. marina), Sonneratia sp. Dan dominan Rhizophora sp. Area yang terendam kurang dari sembilan kali setiap bulan ditemukan Rhizophora sp., Bruguiera sp. Sedangkan pada area yang terendam hanya beberapa hari dalam setahun : Bruguiera gymnorrhiza dan Rhizophora apiculata masuh dapat hidup.
2. Zona air tawar hingga payau, dimana salinitas berkisar antara 0-10 ‰. dalam zona ini, yaitu pada area yang masih dipengaruhi oleh pasang surut terdapat asosiasi Nypa. Sedangakan area yang terendam secara musiman diominasi oleh Hibiscus.
Daerah yang paling dekat dengan laut sering ditumbuhi oleh Avicennia dan Sonneratia. Sonneratia biasa tumbuh pada lumpur dalam yang kaya akan bahan organik. Lebih kearah darat, hutan mangrove umunya didominasi oleh Rhizopora sp. Di zona ini juga dijumpai Bruguiera dan Xylocarpus. Zona berikutnya didominasi oleh Bruguiera spp. Selanjutnya terdapat zonasi transisi antara hutan mangrove dan hutan dataran rendah yahng biasanya ditumbuhi oleh nipah (Nypa fruticans), dan pandan laut (Pandanus spp.).
Berdasarkan hasil riset di beberapa daerah, yakni pesisir Teluk Kao dan Sidangoli (Halmahera), pesisir Teluk Kotania dan Teluk Latal (Seram Barat), pesisir Teluk Ambon, Kepulaua Aru, pesisir Teluk Saumlaki (Maluku Tenggara) dan pesisir Teluk Mandar (Sulawesi Selatan). Pramudji (2010) membagi zona mangrove antara lain sebagai berikut :
1. Zona garis pantai. Pada zona ini umumnya lebarnya antar 10-50 meter dari garis pantai dan biasanya ditemukan jenis Rhizophora stylosa, Rhizophora mucronata, Avicennia marina dan Sonneratia alba.
2. Zona tengah, yaitu kawasan yang terletak dibelakang zona garis pantai dan memiliki lumpur liat. Pada zona ini biasanya ditemukan jenis Rhizophora apiculata, Avicennia officinalis, Bruguiera gymnorrhiza, Sonneratia caseolaris dan Lumnitzera littorea.
3. Zona belakang : Jenis mangrove yang tumbuh pada zona ini adalah Bruguiera parviflora, B. cylindrica, B. sexangula, Ceriops tagal, Aegiceras corniculatum, Heritiera littoralis, Xylocarpus granatum, Excoecaria agalocha, lumnitzera littorea, Dolichandron spathacea dan Osbornea octodonta. Khusus pada daerah aliran sungai, pada zona ini akan tumbuh subur jenis Nypa fruticans.
4. Zona yang berbatasan dengan hutan darat : Jenis tumbuhan yang umum muncul pada lokasi ini adalah Achantus ebracteatus, Achantus ilicifolius, Sesuvium portulacastrum, Calophyllum inophyllum, Acrostichum aureum, A. speciosum, Baringtonia asiatica, Cerbera manghas, Hibiscus tiliaceus, Derris trifolia, Pemphis acidula, Ipomea pes-caprae, Pandanus tectorius, Pongamia pinnata, dan Thespesia populnea.
D. Pola Adaptasi
Menurut Bengen (2004), mangrove dapat beradaptasi dengan lingkungan yang ekstrim. Adaptasi tersebut antara lain adalah :
1. Adaptasi terhadap kadar oksigen rendah. Pohon mangrove memiliki bentuk perakaran yang khas : bertipe cakar ayang yang mempunyai pneumatofora misalnya pada Avicennia spp., Sonneratia spp., dan xylocarpus spp. Uuntuk mengambil oksigen dari udara. Selain itu, terdapat tipe akar penyangga/ tongkat yang mempunyai lentisel misalnya pada Rhyzophora spp.
2. Adaptasi terhadap kadar garam tinggi. Selain beradaptasi dengan oksigen rendah, mangrove juga dapat beradaptasi terhadap kadar garam yang tinggi. Untuk beradaptasi terhadap kadar garam yang tinggi, mangrove memiliki sel-sel khusus dalam daun yang berfungsi untuk menyimpan garam. Daun tebal dan kuat yang banyak mengandung air untuk mengatur keseimbangan garam. Daunnya memiliki stomata khusus untuk mengurangi penguapan.
3. Adaptasi terhadap tanah yang kurang stabil dan adanya pasang surut. Struktur perakaran mengrove sangat ekstensif dan membentuk jaringan horizontal yang lebar sehingga dapat hidup pada daerah dengan tanah yang kurang stabil dan dipengaruhi pasang surut. Disamping untuk memperkokoh pohon, akar tersebut juga berfungsi untuk mengambil unsure hara dan menahan sedimen.
E. Parameter Lingkungan Yang Berpengaruh Pada Pertumbuhan Mangrove.
Komunitas mangrove memiliki struktur yang tidak seragam secara fungsional antara komunitas satu dan yang lainnya walupun di dalam satu komunitas, heterogenitas tersebut terlihat sangat jelas. Perbedaan di dalam dan di antara komunitas mangrove di sebabkan oleh sejumlah faktor lingkungan yakni abiotik, biotik dan faktor fotuitous (yang secara kebetulan) yang mengakibatkan perbedaan individu spesies mangrove (Kusmana, 2001).
Kusmana dkk (2003) mengatakan bahwa pertumbuhanmangrove dipengaruhi oleh beberapa faktor lingkungan antara lain :
1. Iklim
a. Cahaya
Umumnya tanaman mangrove membutuhkan intensitas cahaya matahari tinggi dan penuh, sehingga zona pantai tropis merupakan habitat ideal bagi mangrove. Kisaran intensitas cahaya optimal untuk pertumbuhan mangrove adalah 3000-3800 kkal/m2/hari. Pada saat masih kecil (semai) tanaman manrove memerlukan naungan. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa :
- Intensitas cahaya 50% dapat meningkatkan daya tumbuh bibit Rhizophora mucronata dan R. apiculata.
- Intensitas cahaya 75% mempercepat pertumbuhan bibit Bruguiera gymnorhiza.
- Intensitas cahaya 75% mempercepat pertumbuhan tingi bibit R. mucronata, R. apiculata dan B. gymnorhiza.
b. Curah hujan
Curah hujan mempengaruhi faktor lingkungan seperti suhu air dan udara, salinitas air permukaan tanah dan air tanah yang berpengaruh pada daya tahan spesies mangrove. Dalam hal ini, mangrove tumbuh subur di daerah dengan curah hujan rata-rata 1500-3000 mm/tahun.
c. Suhu udara
Suhu yang baik untuk pertumbuhan mangrove tidak kurang dari 20 0C dan perbedaan suhu musiman tidak melebihi 5 0C kecuali diafrika timur yang memilki perbedaan suhu mesiman mencapai 10 0C. Saparinto (2007).Kisaran suhu optimum untuk mangrove jenis Avicennia sp pada suhu 18-20 0C, Rhizophora sp, Ceriops sp, excoecaria, Lumnitzera sp pertumbuhan baik pada suhu 26-28 0C, sedang Bruguiera sp pada suhu 27 0C, dan Xylocarpus sp berkisar 21-28 0C.
d. Angin
Angin berpengaruh terhadap ekosistem mangrove melalui aksi gelombang dan arus pantai yang dapat menyebabkan abrasi dan mengubah sturuktur mangrove, meningkatkan evapotransportasi dan angin kuat dapat menghalangi pertumbuhan dan menyebabkan karakteristik fisiologis abnormal, namun demikian, diperlukan untuk proses polinasi dan penyebaran benih tanaman.
2. Pasang surut
Pasang surut menentukan zonasi komunitas flora dan fauna mangrove. Durasi pasang surut berpengaruh besar terhadap perubahan salinitas pada tanah mangrove. Salinitas air menjadi sangat tinggi saat pasang naik dan menurun saat pasang surut. Perubahan tingkat salinitas pada saat pasang merupakan salah satu faktor yang membatasi distribusi spesies mangrove, terutama distribusi horizontal. Pada area yang selalu tergenang hanya Rhyzophora mucronata yang tumbuh baik, sedangkan Bruguiera spp dan Xylocarpus spp. Jarang mendominasi daerah yang sering tergenang.
3. Gelombang dan arus
Gelombang pantai yang sebagian besar dipengaruhi angin merupakan penyebab penting abrasi dan suspensi sedimen. Pada pantai berpasir dan berlumpur, gelombang dapat membawa partikel pasir dan sedimen laut. Partikel besar atau kasar akan mengendap, terakumulasi membentuk pantai berpasir. Mangrove akan tumbuh pada lokasi yang arusnya tenang.
4. Salinitas
Salinitas air dan salinitas tanah rembesan merupakan faktor penting dalam pertumbuhan, daya tahan dan zonasi spesies mangrove. Tumbuhan mangrove tumbuh subur di daerah estuaria dengan salinitas 10-30 ppt. beberapa spesies dapat tumbuh di daerah dengan salinitas sangat tinggi. di Australia dilaporkan A. marina dan E. agallocha dapat tumbuh dengan salinitas maksimum 63 ppt, Ceriops spp., Sonneratia spp. 44 ppt, R. apiculata 65 ppt dan R. stylosa 74 ppt.
F. Faktor penyebab dan dampak kerusakan ekosistem mangrove.
Pengalihan fungsi areal hutan mangrove menjadi daerah pertambakan dapat menyebabkan meningkatnya masa genangan air sehingga menjadi tempat yang baik bagi perkembang biakan nyamuk. Selain itu, penebangan hutan mangrove untuk keperluan kayu bakar dan pembuatan arang, serta pengambilan kulit pohon untuk penyamak kulit secara tidak terencana dapat menyebabkan kerusakan ekosistem mangrove. Kerusakan-kerusakan ekosistem mangrove dapat menyebabkan terganggunya salah satu fungsi mangrove yaitu sebagai penyerap logam berat sehingga tidak masuk kedalam jaringan makanan. Kerusakan hutan mangrove dapat menimbulakn banyak dampak. Salah satu kerusakan yang ditimbulkan ari rusaknya sebuah ekosistem mangrove adalah adanya peningkatan laju intrusi air laut kea rah daratan (Tuwo, 2011).
Menurut Saparinto (2007). Beberapa hal yang menyebabkan kerusakan ekosistem mangrove adalah (1) tekanan penduduk yang tinggi sehingga permintaan konversi mangrove juga semakin tinggi, (2) perencanaan dan pengelolaan sumberdaya pesisir dimasa lalu bersifat sangat sektoral, (3) rendahnya kesadaran masyarakat tentang konservasi dan fungsi ekosistem mangrove, dan (4) kemiskinan masyarakat pesisir. Adapun dampak yang paling menonjol dari kerusakan ekosistem mangrove adalah secara fisik dan ekologis. Dampak secara fisik adalah erosi pantai, kerusakan perumahan dan harta benda akibat badai serta terjadinya intrusi air laut. Secara ekologi, kerusakan mangrove dapat mengakibatkan adanya penurunan kesuburan perairan dan kualitas perairan pesisir. Kerusakan mangrove bagi perikanan pesisir akan mengakibatkan menurunnya penyediaan benih alami, stok perikanan, menurunnya kualitas air laut yang akan digunakan untuk media budidaya tambak atau laut, dan menurunnya hasil tangkapan nelayan setempat.
Menurut Bengen (2004), dengan pertumbuhan penduduk yang tinggi dan pesatnya pembangunan di pesisir bagi berbagai peruntukan (pemukiman, perikanan, pelabuhan dll), tekanan ekologis terhadap ekosistem pesisir, hususnya ekosistem hutan mangrove, semakin meningkat pula. Meningkatnya tekanan ini tentunya berdampak terhadap kerusakan ekosistem hutan mangrove baik secara langsung (misalnya kegiatan penebangan atau konversi lahan) maupun ecara tidak langsung (misalnya pencemaran oleh limbah berbagai kegiatan pembangunan).
Table 1. Dampak Kegiatan Manusia Pada Ekosistem Hutan Mangrove.
No. Kegiatan Dampak potensial
1. Tebang habis • Berubahnya komposisi hutan mangrove.
• Tidak berfungsinya daerah mencari makanan dan pengasuhan.

2. Pengalihan aliran air tawar, misalnya pada pembangunan irigasi.
• Peningkatan salinitas hutan mangrove.
• Menurunnya tingkat kesuburan hutan.
3. Konversi menjadi lahan pertanian, perikanan, pemukiman, dan lain-lain.
• Mengancam regenerasi stock ikan dan udang di perairan lepas pantai yang memerlukan hutan mangrove.
• Terjadi pencemaran laut oleh bahan pencemar yang sebelumnya diikat oleh substrat hutan mangrove.
• Pendangkalan perairan pantai.
• Erosi garis pantai dan intrusi garam.
4. Pembuangan sampah cair. • Penurunan kandungan Oksigen terlarut, timbul gas H2S.

5. Pembuangan sampah cair. • Kemungkinan terlapisnya pneumatofora yang mengakibatkan matinya pohon mangrove.
• Perembesan bahan-bahan pencemar dalam sampah padat.

6. Pencemaran minyak tumpahan. • Kematian pohon mangrove.
7. Penambangan dan ekstraksi mineral, baik di dalam hutan maupun didaratan sekitar mangrove. • Kerusakan total ekosistem mangrove, sehingga memusnahkan fungsi ekologis hutan mangrove (daerah mencari makanan, daerah asuhan dan daerah pemijahan).
• Pengendapan sedimen yang dapat mematikan pohon mangrove.

DAFTAR PUSTAKA
Adiwijaya, H. 2006. Kondisi Mangrove Pantai Timur Surabaya. Jurnal Ilmiah Teknik Lingkungan Vol.1 Edisi Khusus. Jurusan Teknik Lingkungan FTSP UPN “Veteran“, jawa Timur.

Anonim. 1990. Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati Dan Ekosistemnya.

Anonim. 2009. Peraturan Menteri Kelautan Dan Perikanan Republik Indonesia Nomor Per.02/MEN/2009 Tentang Tata Cara Penetapan Kawasan Konservasi Perairan.

Bengen, D.G. 2004. Sinopsis Ekosistem dan Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut Serta Prinsip Pengelolaannya. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan (PKSPL) IPB, Bogor.

Irwanto. 2006. Keaneka ragaman fauna pada mangrove. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.

Irwanto. 2007. Analisis Vegetasi Untuk Pengelolaan Kawasan Hutan Lindung Pulau Marsegu, Kabupaten Seram Bagian Barat, Provinsi Maluku. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.

Kusmana, C. dkk. 2003. Teknik Rehabilitasi Mangrove. Fakultas Kehutanan IPB. Bogor.

Hutchings, P. dan Saenger, P. 2000. Ecology Of Mangrove. Laboratorium Ekologi Hutan Fakultas Kehutanan IPB. Bogor.

Mulyadi, E., O. Hendriyanto, & N. Fitriani. 2006. KONSERVASI HUTAN MANGROVE SEBAGAI EKOWISATA. Jurnal Ilmiah Teknik Lingkungan Vol.1 Edisi Khusus. Jurusan Teknik Lingkungan FTSP UPN “Veteran“. jawa Timur.

Mulyadi, E., R. Laksmono, & D. Aprianti. 2006. Fungsi Mangrove Sebagai Pengendali Pencemar Logam Berat. Jurnal Ilmiah Teknik Lingkungan Vol.1 Edisi Khusus. Jurusan Teknik Lingkungan FTSP UPN “Veteran“, jawa Timur.

Pramudji. 2010. Ekosistem Mangrove. Pusat Penelitian Oceanografi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Jakarta.

Saparinto, C. 2007. Pendayagunaan ekosistem mangrove. Dahara prize. Semarang.

Supriharyono. 2009. Konservasi ekosistem sumber daya hayati. Pustaka belajar. Yogyakarta.

Tuwo, A. 2011. Pengelolaan ekowisata pesisir dan laut ; pendekatan ekologi, sosial-ekonomi, kelembagaan, dan sarana wilayah. Brilian Internasional. Sidoarjo.

Rabu, 07 April 2010

Kandungan Nitrat/ NO3 dan Nitrit/NO2 Pada Perairan Tawar

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Salah satu faktor penting dalam estuaria khususnya dalam hal distribusi nutrient adalah aliran sungai sehingga dapat membentuk suatu ekosistem dengan produktifitas tinggi. Kadar nutrisi dalam perairan estuaria antara lain dipengaruhi oleh kandungan limbah yang mengalir kedalam sungai disekitar estuaria. Nutrient dalam estuaria juga berasal dari perairan laut sekitarnya. Sifat fisika dan kimia perairan estuaria sangat bervariasi karena merupakan tipe ekosistem yang spesifik (Odum, 1971).
Salah satu bagian dari siklus nitrogen yang merupakan ion-ion anorganik alami adalah Nitrat (NO3-) dan nitrit (NO2-). Sampah yang mengandung dapat terurai akibat aktifitas mikroba di tanah atau air. Nitrogen organik mula-mula diourai menjadi ammonia, kemudian dioksidasikan menjadi nitrit dan nitrat. Dalam air bawah tanah dan air yang terdapat di permukaan, nitrat menjadi senyawa yang paling sering ditemukan. Hal ini terjadi Karena nitrit dapat dengan mudah dioksidasikan menjadi nitrat. Pencemaran oleh pupuk nitrogen, termasuk amonia anhidrat seperti juga sampah organik hewan maupun manusia, dapat meningkatkan kadar nitrat di dalam air. Senyawa yang mengandung nitrat di dalam tanah biasanya larut dan dengan mudah bermigrasi dengan air bawah tanah.

Berdasarkan uraian di atas, perlu adanya pengetahuan yang mendalam mengenai kandungan nitrat- nitrit di perairan khususnya perairan air tawar.


B. Tujuan
Tujuan dibuatnya makalah ini ialah untuk mengetahui kandungan nitrat dan nitrit yang terdapat dalam perairan tawar serta pengaruhnya terhadap organisme yang hidup disuatu perairan.
C. Manfaat
Manfaat dari makalah ini ialah dapat menambah informasi dan wawasan mengenai kandungan nitrat nitrit yang ada di perairan tawar.










II. PEMBAHASAN

Kandungan unsur Nitrat (NO3-, satuan ppm) dan Nitrit (NO2-, satuan ppm) dalam perairan khususnya periran air tawar.
Nitrat merupakan bentuk nitrogen yang berperan sebagai nutrient utama bagi pertumbuhan tanaman dan alga. Nitrat nitrogen sangat mudah larut dalam air dan memiliki sifat yang relatif stabil. Senyawa ini dihasilkan dari proses oksidasi yang sempurna di perairan. pada dasarnya, nitrat merupakan sumber utama nitrogen diperairan, akan tetapi, tumbuhan lebih menyukai amonium untuk disgunakan dalam proses pertumbuhan.
Kadar nitrat diperairan yang tidak tercemar biasanya lebih tinggi dari pada kadar amonium. Kadar nitrat lebih dr 5 mg/ltr. menggambarkan keadaan suatu perairan yang telah tercemar akibat aktivitas manusia dan tinja hewan. Kadar nitrogen yang lebih darr 0,2 mg/ltr menggmbarkan terjdinya eutrofikasi perairan.
Nitrat merupakan salah satu jenis senyawa kimia yang sering ditemukan di alam, seperti dalam tanaman dan air. Senyawa ini terdapat dalam tiga bentuk, yaitu ion nitrat (ion-NO)3, kalium nitrat (KNO3), dan nitrogen nitrat (NO3-N). Ketiga bentuk senyawa nitrat ini menyebabkan efek yang sama terhadap ternak meskipun pada konsentrasi yang berbeda
Nitrit merupakan bentuk peralihan antara amonia dan nitrat (nitrifikasi) dan antara nitrat dan gas nitrogen (denitrifikasi) yg terbentuk dalam kondisi anaerob. Sumber nitrit dapat berupa limbah industri dan limbah domestik. Kadar nitrit pada perairan relative stabil karena segera dioksidasi menjadi nitrat. Perairan alami mengandung nitrit sekitar 0,001 mg/liter.
Sementara itu, kadar nitrit yang diperbolehkan tidak lebih dari 0,5 ppm. Kadar nitrat dan nitrit di dalam air tambak yang melebihi ambang batas tersebut akan berpengaruh negatif terhadap udang windu yang dipelihara. Pengukuran kadar nitrat dan nirit menggunakan instrument kit dengan kisaran pengukuran 0,05 – 2 ppm. Alat ini juga berfungsi sebagai pengukur kadar Cd (cadmium) dalam air tambak (http://akuakulturunhas.blogspot.com/2009/07/hukum-budidaya-berkenaan-kualitas-air.html).
Nitrat berasal dari ammonium yang masuk ke dalam badan sungai terutama melalui limbah domestic konsentrasinya di dalam sungai akan semakin berkurang bila semakin jauh dari titik pembuangan yang disebabkan adanya aktifitas mikroorganisme di dalam air contohnya bakteri nitrosumonas. Mikroorganisme tersebut akan mengoksidasi ammonium menjadi nitrit dan akhirnya menjadi nitrat oleh bakteri. Proses oksidasi tersebut akan menyebabkan konsentrasi oksigen terlarut semakin berkurang, terutama pada musim kemarau saat turun hujan semakin sedikit di mana volume aliran air sungai menjadi rendah.
Dalam kondisi dimana konsentrasi oksigen terlarut sangat rendah dapat terjadi kebalikan dari stratifikasi yaitu proses denitrifikasi di mana nitrat akan menghasilkan nitrogen bebas yang akhirnya akan lepas ke udara atau dapat juga kembali membentuk ammonium dan amoniak melalui proses amonifikasi nitrat. Nitrat dapat digunakan untuk mengklafisikasikan tingkat kesuburan perairan. Perairan oligotrofik kadar nitrat 0 – 1 mg/l, perairan mesotrofik kadar nitrat 1 – 5 mg/l, perairan eutrofik kadar nitrat 5 -50 mg/l.
Pencemaran air dari nitrat dan nitrit bersumber dari tanah dan tanaman. Nitrat dapat terjadi baik dari NO2 atmosfer maupun dari pupuk-pupuk yang digunakan dan dari oksidasi NO2 oleh bakteri dari kelompok Nitrobacter.
Adanya oksigen di dalam air tambak akan mengubah amoniak menjadi nitrat dan nitrit (nitrifikasi). Nitrat terbentuk dari reaksi antara amoniak dan oksigen yang terlarut dalam air. Besarnya kadar nitrat di dalam tambak yang masih bisa ditoleransi berada dibawah 0,1 ppm. Sementara itu, kadar nitrit yang diperbolehkan tidak lebih dari 0,5 ppm. Kadar nitrat dan nitrit di dalam air tambak yang melebihi ambang batas tersebut akan berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan dan kelangsungan hidup hewan yang dipelihara. Pengukuran kadar nitrat dan nirit menggunakan instrument kit dengan kisaran pengukuran 0,05 – 2 ppm. Alat ini juga berfungsi sebagai pengukur kadar Cd (cadmium) dalam air tambak, (http://akuakulturunhas.blogspot.com/).
Konsentrasi kandungan unsur nitrogen nitrit dalam air. Nitrit merupakan ion-ion an-organik alami yang merupakan bagian dari sebuah siklus unsur Nitrogen di alam. Proses dimulai dari bahan/material yang mengandung Nitrogen oleh mikroorganisme dirubah menjadi Amoniak (NH4), kemudian akan mengalami oksidasi menjadi Nitrit (NO2-), selanjutnya ion Nitrit tersebut akan mengalami oksidasi lagi menjadi Nitrat (NO3-) yang relatif memiliki ikatan kimia lebih stabil. Mengingat ion Nitrit dan Nitrat merupakan sabuah proses yang saling berantai dan tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain maka berbagai dampak pada lingkungan dan kesehatan manusia adalah sama dengan dampak yang diakibatkan oleh ion Nitrat, akan tetapi karena ion Nitrit ini sangat labil ikatan kimianya, maka dampaknya akan semakin akut dan serius. Dialam, sumber Nitrogen yang akan bersiklus menjadi Amoniak, Nitrit dan Nitrat sangatlah melimbah, dapat berasal dari alam (batuan/tanah) juga dari berbagai limbah organik, seperti limbah tinja/urine, limbah kotoran peternakan dan berbagai limbah organik lainnya yang oleh mikroorganisme akan diproses menjadi ion-ion Nitrit dan Nitrat tadi.
Nitrat dalam perairan mempengaruhi pertumbuhan fitoplankton dan tanaman. Jika kadarnya terlalu tinggi, maka akan menyebabkan bloming fitoplankton. Nitrat dan unsure- unsure lainnya seperti fosfor hingga batas tertentu tampaknya terbatas jumlahnya hamper pada semua ekosistem air tawar. Dalam air danau, dan aliran air dengan kesadahan rendah, kalsium dan garam- garam juga tampaknyan terbatas, kecuali pada beberapa mata air mineral bahkan pada air dengan kesadahan tertinggi hanya mempunyai kadar garam dengan salinitas kurang dari 0,5% dibandingkan dengan 30- 37% dalam air laut
Nitrit merupakan ion-ion an-organik alami yang merupakan bagian dari sebuah siklus unsur Nitrogen di alam. Proses dimulai dari bahan/material yang mengandung Nitrogen oleh mikro-organisme dirubah menjadi Amoniak (NH4), kemudian akan mengalami oksidasi menjadi Nitrit (NO2-), ikatan kimia Nitrit tersebut tidak stabil maka Nitrit tersebut akan mengalami oksidasi lagi menjadi Nitrat (NO3-) sehingga unsur ion Nitrat ini paling umum dijumpai pada air permukaan dan bawah tanah. Sumber unsur Nitrogen dapat berasal dari pelarutan mineral dalam batuan dan tanah, pupuk pada lahan pertanian, limbah-limbah yang dihasil oleh aktifitas manusia.
Nitrat dibentuk dari asam nitrit yang berasal dari ammonia melalui proses oksidasi katalitik. Nitrit juga merupakan hasil metabolisme dari siklus nitrogen. Bentuk pertengahan dari nitrifikasi dan denitrifikasi. Nitrat dan nitrit adalah komponen yang mengandung nitrogen berikatan dengan atom oksigen, nitrat mengikat tiga atom oksigen sedangkan nitrit mengikat dua atom oksigen.
Di alam, nitrat sudah diubah menjadi bentuk nitrit atau bentuk lainnya.Struktur kimia dari nitrat Berat molekul: 62.05 Struktur kimia dari nitritO == N — O-Berat molekul: 46.006.Pada kondisi yang normal, baik nitrit maupun nitrat adalah komponen yang stabil, tetapi dalam suhu yang tinggi akan tidak stabil dan dapat meledak pada suhu yang sangat tinggi dan tekanan yang sangat besar. Biasanya, adanya ion klorida, bahan metal tertentu dan bahan organik akan mengakibatkan nitrat dan nitrit menjadi tidak stabil. Jika terjadi kebakaran, maka tempat penyimpanan nitrit maupun nitrat sangat berbahaya untuk didekati karena dapat terbentuk gas beracun dan bila terbakar dapat menimbulkan ledakan. Bentuk garam dari nitrat dan nitrit tidak berwarna dan tidak berbau serta tidak berasa, bersifat higroskopis.

III. PENUTUP
A. Simpulan
Simpulan dari makalah ini adalah sebagai berikut :
Nitrat (NO3-) dan nitrit (NO2-) adalah ion-ion anorganik alami, yang merupakan bagian dari siklus nitrogen. Nitrit dapat dengan mudah dioksidasikan menjadi nitrat, maka nitrat adalah senyawa yang paling sering ditemukan di dalam air bawah tanah maupun air yang terdapat di permukaan.
Nitrat berasal dari ammonium yang masuk ke dalam badan sungai terutama melalui limbah domestic. Sedangkan Nitrit merupakan produk intermediet antara amonium dan nitrat dimana nitrit dihasilkan dari dekomposisi feses oleh organisme yang ada di perairan.
Pencemaran air dari nitrat dan nitrit bersumber dari tanah dan tanaman. Nitrat dapat terjadi baik dari NO2 atmosfer maupun dari pupuk-pupuk yang digunakan dan dari oksidasi NO2 oleh bakteri dari kelompok Nitrobacter.

B. Saran
Saran saya selaku penulis makalah ialah dapat melakukan penelitian mengenai keberadaan nitrat dan nitrit di perairan sehingga dapat mempelajari dan mengetahui tingkat pencemaran dalam suatu perairan.

Selasa, 16 Maret 2010

TEKNIK BUDIDAYA IKAN KERAPU
Mungkin ini dapat membantu anda dalam memperoleh sedikit informasi mengenai budidaya ikan kerapu. Seperti yang kita ketahui, ketersediaan benih dari tangkapan sangat terbatas. Sehingga lebih baik menggunakan benih yang berasal dari pembenihan. Selain jumlahnya banyak, ukuran relatif seragam serta kualitas dan kontinuitas terjamin. Benih yang sehat tampak dari warnanya cerah, geraknya lincah dan aktif, nafsu makannya tinggi serta tidak ada cacat tubuh.

Kepadatan optimum untuk fase pendederan adalah 150-200 ekor/m3 dengan rata-rata panjang ikan 9-12 cm dan berat 15-25 g. Setelah dibesarkan selama 1-1,5 bulan, kepadatannya dikurangi menjadi 100 ekor/m3. Kepadatan ini harus dipertahankan hingga masa pembesaran 2 bulan, selanjutnya kepadatan menjadi 20-25 ekor/m3 dipertahankan selama 4 bulan hingga ikan mencapai ukuran konsumsi (400-500 g).

Umumnya, pakan yang diberikan untuk ikan kerapu ialah ikan rucah segar karena harganya relatif murah, bisa juga pakan buatan berupa pellet sebagai pengganti ikan rucah. Pada tahap awal pembesaran, pemberian pakan dilakukan sesering mungkin sampai ikan benar-benar kenyang, minimal tiga kali sehari. Tahap berikutnya waktu dan frekwensi pemberian pakan harus tepat agar pertumbuhan baik dan penggunaan pakan menjadi efisien, karena berkaitan dengan pencernaan dan pemakaian energi. Sebaiknya pemberian pakan 2 kali sehari pada saat pagi dan sore hari. Pakan ikan segar harus dicacah hingga ukurannya sesuai dengan bukaan mulut ikan.

Selain pakan, ikan juga harus diberi multivitamin. Pemberian multivitamin dapat menambah kekebalan tubuh ikan sehingga ikan dapat tumbuh secara normal. Di samping itu dapat mencegah terjadinya lordosis dan scoliosis atau tubuh bengkok karena perkembangan tulang belakang yang tidak sempurna. Manfaat lain adalah dapat meningkatkan sintasan ikan, atau menurunkan tingkat kematian, berpengaruh terhadap kinerja ikan, warna tubuh menjadi lebih cerah dan agresif.

Untuk menentukan dosis pakan, perlu dilakukan pengukuran berat dan panjang ikan dengan dara sampling (acak) sebanyak 10% minimal sebulan sekali. Laju pertumbuhan ikan dipengaruhi oleh jenis pakan, jumlah yang diberikan dan mutu pakan. Pertambahan berat kerapu bebek relatif lebih lambat dibanding kerapu macan hal ini dimungkinkan karena secara genetik memang lambat tumbuh.

Kerapu termasuk ikan buas dan memiliki sifat kanibal. Oleh sebab itu kegiatan pemilahan atau penyeragaman ukuran harus secara rutin dilakukan agar setiap waring/jaring hanya diisi ikan yang berukuran sama, bila ada perbedaan ukuran maka ikan yang lebih kecil akan kalah bersaing dengan ikan yang lebih besar dalam memperoleh makanan, hal ini bisa menyebabkan banyak kematian. Penyeragaman ukuran dilakukan mulai dari awal pembesaran dan selanjutnya diteruskan minimal setiap dua minggu sekali, terutama kalau terdapat variasi ukuran.

Pengamatan kesehatan ikan perlu dilakukan secara visual dan organoleptik untuk mengamati ektoparasit dan morfologi ikan. Sedangkan pengamatan secara mikroskopik dilakukan di laboratorium untuk pemeriksaan jasad patogen (endo perasit, jamur, bakteri dan virus). Cara pengukuran kualitas air (suhu, salinitas, pH, oksigen terlarut, amoniak, amonium sulfat, nitrit, nitrat, chlorin, dsb) dilakukan dengan menggunakan termometer untuk suhu, refractometer untuk mengukur salinitas, pH meter atau kertas lakmus untuk mengukur pH, DO meter untuk mengukur oksigen terlarut dan water quality test kit untuk mengukur kualitas air lainnya disesuaikan dengan petunjuk kerja dari masing-masing alat yang digunakan. Frekuensi pengukuran dilakukan minimal dua kali seminggu.