Sabtu, 10 Maret 2012

MANGROVE
“Ekosistem dengan Sejuta Manfaat”
A. Apasih Mangrove itu,,,??
Ekosistem mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis, yang di didominasi oleh beberapa spesies pohon mangrove yang mampu tumbuh dan berkembang pada daerah pasang surut pantai berlumpur. Komunitas vegetasi ini umumnya tumbuh pada daerah intertidal dan supratidal yang cukup mendapat aliran air, dan terlindung dari gelombang besar dan arus pasang-surut yang kuat. Karena itu, hutan mangrove banyak ditemukan di pantai-pantai teluk yang dangkal, estuaria, delta dan daerah pantai yang terlindung (Bengen, 2004).
Ekosistem mangrove dikenal juga dengan istilah tidal forest, coastal woodland, vloedbosschen dan hutan payau (bahasa Indonesia). Selain itu, ekosistem mangrove oleh masyarakat Indonesia dan negara Asia Tenggara lainnya yang berbahasa Melayu sering disebut dengan hutan bakau. Penggunaan istilah hutan bakau untuk ekosistem mangrove sebenarnya kurang tepat dan rancu, karena bakau hanyalah nama lokal dari marga Rhizophora, sementara ekosistem mangrove disusun dan ditumbuhi oleh banyak marga dan jenis tumbuhan lainnya. Oleh karena itu, penyebutan ekosistem mangrove dengan hutan bakau sebaiknya dihindari (Kusuma et al, 2003 dalam Irwanto, 2007).
Selanjutnya, Pramudji (2010) menerangkan bahwa Ekosistem mangrove adalah suatu formasi hutan yang mampu tumbuh dan berkembang di daerah tropik dan subtropik pada lingkungan pesisir yang berkadar garam sangat ekstrim, jenuh air, kondisi tanah yang tidak stabil dan anaerob yang selalu dipengaruhi pasang-surut. Walaupun keberadaan hutan mangrove ini tidak tergantung pada iklim, namun umumnya hutan ini tumbuh dan berkembang pada kawasan pesisir yang terlindung dari hempasan ombak, serta ditopang oleh adanya aliran sungai yang selalu membawa material.
Menurut Irwanto (2006), Mangrove adalah tanaman pepohonan atau komunitas tanaman yang hidup di antara laut dan daratan yang dipengaruhi oleh pasang surut. Habitat mangrove seringkali ditemukan di tempat pertemuan antara muara sungai dan air laut yang kemudian menjadi pelindung daratan dari gelombang laut yang besar. Sungai mengalirkan air tawar untuk mangrove dan pada saat pasang, pohon mangrove dikelilingi oleh air garam atau air payau. Mangrove adalah jenis tanaman dikotil yang hidup di habitat payau. Kelompok pohon di daerah mangrove bisa terdiri atas suatu jenis pohon tertentu saja atau sekumpulan komunitas pepohonan yang dapat hidup di air asin. Mangrove biasa ditemukan di sepanjang pantai daerah tropis dan subtropis, antara 32° Lintang Utara dan 38° Lintang Selatan.
Mangrove adalah suatu komunitas tumbuhan atau suatu individu jenis tumbuhan yang membentuk komunitas tersebut di daerah pasang surut, hutan mangrove atau yang sering disebut hutan bakau merupakan sebagian wilayah ekosistem pantai yang mempunyai karakter unik dan khas, dan memiliki potensi kekayaan hayati. Ekosistem mangrove adalah suatu sistem yang terdiri atas lingkungan biotik dan abiotik yang saling berinteraksi di dalam suatu habitat mangrove (Mulyadi, 2006).
Selanjutnya, Mulyadi (2006) juga menjelaskan bahwa mangrove merupakan ekosistem yang terdapat di antara daratan dan lautan dan pada kondisi yang sesuai mangrove akan membentuk hutan yang ekstensif dan produktif. Karena hidupnya di dekat pantai, mangrove sering juga dinamakan hutan pantai, hutan pasang surut, hutan payau, atau hutan bakau. Istilah bakau itu sendiri dalam bahasa Indonesia merupakan nama dari salah satu spesies penyusun hutan mangrove yaitu Rhizophora sp. Sehingga dalam percaturan bidang keilmuan untuk tidak membuat bias antara bakau dan mangrove maka hutan mangrove sudah ditetapkan merupakan istilah baku untuk menyebutkan hutan yang memiliki karakteristik hidup di daerah pantai.
B. Habitat dan Penyebaran
Mangrove hidup di daerah antara level pasang naik tertinggi (maximum spring tide) sampai level disekitar atau di atas permukaan laut rata-rata (mean sea level). Komunitas (tumbuhan) hutan mangrove hidup di daerah pantai terlindung di daerah tropis dan subtropis (Supriharyono, 2009). Mc Gill dalam Supriharyono (2009) mengatakan bahwa hampir 75 % tumbuhan mangrove hidup antara 350LU-350LS, dan terbanyak terdapat di kawasan Asia Tenggara, seperti Malaysia, Sumatera dan bebrapa daerah di Kalimantan yang mempunyai curah hujan tinggi dan bukan musiman. Irwanto (2006) mengemukakan bahwa mangrove biasa ditemukan di sepanjang pantai daerah tropis dan subtropis, antara 32° Lintang Utara dan 38° Lintang Selatan.
Mangrove mampu tumbuh dan berkembang pada daerah pasang surut pantai berlumpur. Komunitas vegetasi ini umumnya tumbuh pada daerah intertidal dan supratidal yang cukup mendapat aliran air dan terlindung dari gelombang besar dan arus pasang-surut yang kuat. Hal tersebut menyebabkan hutan mangrove banyak ditemukan di pantai-pantai teluk yang dangkal, estuaria, delta dan daerah pantai yang terlindung (Bengen, 2004).
Secara umum mangrove tumbuh pada daerah intertidal dan supratidal yang selalu dipengaruhi oleh aliran air tawar, serta terlindung dari pukulan ombak. Oleh karena itu, mangrove banyak tumbuh dan berkembang di kawasan pesisir teluk yang dialiri sungai dan pulau-pulau kecil. Mangrove sangat cocok tumbuh pada kawasan yang terlindung dan memiliki lingkungan yang memungkinkan terjadinya endapan (sedimen), misalnya daerah muara sungai atau delta. Secara umum, mangrove dicirikan tumbuh pada substrat yang memiliki kadar garam (salinitas) dan suhu yang tinggi, kadar oksigen yang rendah, serta substrat tanah berlumpur yang mengandung sisa-sisa bahan organik (Pramudji, 2010).
C. Zonasi Mangrove
Wijayanti dkk, (2005) dalam Adiwijaya (2006) menyatakan bahwa, berdasarkan jenis-jenis pohon penyusun formasi hutan dari arah laut ke daratan, mangrove dapat dibedakan 4 zonasi, yaitu :
1. Zone Api - api (Avicennia Sonneratia)
Terletak paling luar atau terdekat dengan laut, keadaan tanah berlumpur, agak lembek, dangkal, terdiri dari sedikit bahan organik dengan kadar gram agak tinggi. Zone ini didominasi oleh jenis pohon pedada dan api-api sebagai pionir yang memagari daratan dari kondisi laut dan angin. Jenis-jenis ini mampu hidup di tempat yang biasa terendam air waktu pasang karena mempunyai akar pasak.
2. Zone Bakau (Rhizopora)
Terletak di belakang zona api - api prepat, keadaan tanah lembek, dalam, daerah ini tidak selalu terendam air, hanya kedang-kadang saja terendam air. Banyak ditumbuhi oleh jenis bakau (Rhizophora spp.).
3. Zone Tancang (Bruguiera)
Terletak di belakang zona bakau, agak jauh dari laut dekat dengan daratan. Daerah ini tanahnya agak keras karena hanya sesekali terendam air yaitu pada saat pasang yang besar dan permukaan laut lebih tinggi dari biasanya. Pada umumnya ditumbuhi jenis Bruguiera spp.
4. Zone Nipah (Nypa Fructicance)
Terletak paling jauh dari laut atau paling dalam kearah darat. Zone ini salinitas airnya sangat rendah dan tanahnya keras, kurang dipengaruhi pasang surut. Pada umumnya ditumbuhi jenis Nipah.
Selain itu, De Haan dalam Bengen (2004) membagi zonasi mangrove berdasarkan salinitas sebagaimana berikut :
1. Zona air payau hingga air laut dengan salinitas pada waktu terendam air pasang berkisar antara 10-30 ‰. Pada zona ini, area yang terndam sekali atau dua kali sehari selama 20 hari dalam sebulan hanya Rhizophora mucronata yang masih dapat tumbuh. Pada area yang terendam 10-19 kali per-bulan ditemukan Avicennia (A. alba, A. marina), Sonneratia sp. Dan dominan Rhizophora sp. Area yang terendam kurang dari sembilan kali setiap bulan ditemukan Rhizophora sp., Bruguiera sp. Sedangkan pada area yang terendam hanya beberapa hari dalam setahun : Bruguiera gymnorrhiza dan Rhizophora apiculata masuh dapat hidup.
2. Zona air tawar hingga payau, dimana salinitas berkisar antara 0-10 ‰. dalam zona ini, yaitu pada area yang masih dipengaruhi oleh pasang surut terdapat asosiasi Nypa. Sedangakan area yang terendam secara musiman diominasi oleh Hibiscus.
Daerah yang paling dekat dengan laut sering ditumbuhi oleh Avicennia dan Sonneratia. Sonneratia biasa tumbuh pada lumpur dalam yang kaya akan bahan organik. Lebih kearah darat, hutan mangrove umunya didominasi oleh Rhizopora sp. Di zona ini juga dijumpai Bruguiera dan Xylocarpus. Zona berikutnya didominasi oleh Bruguiera spp. Selanjutnya terdapat zonasi transisi antara hutan mangrove dan hutan dataran rendah yahng biasanya ditumbuhi oleh nipah (Nypa fruticans), dan pandan laut (Pandanus spp.).
Berdasarkan hasil riset di beberapa daerah, yakni pesisir Teluk Kao dan Sidangoli (Halmahera), pesisir Teluk Kotania dan Teluk Latal (Seram Barat), pesisir Teluk Ambon, Kepulaua Aru, pesisir Teluk Saumlaki (Maluku Tenggara) dan pesisir Teluk Mandar (Sulawesi Selatan). Pramudji (2010) membagi zona mangrove antara lain sebagai berikut :
1. Zona garis pantai. Pada zona ini umumnya lebarnya antar 10-50 meter dari garis pantai dan biasanya ditemukan jenis Rhizophora stylosa, Rhizophora mucronata, Avicennia marina dan Sonneratia alba.
2. Zona tengah, yaitu kawasan yang terletak dibelakang zona garis pantai dan memiliki lumpur liat. Pada zona ini biasanya ditemukan jenis Rhizophora apiculata, Avicennia officinalis, Bruguiera gymnorrhiza, Sonneratia caseolaris dan Lumnitzera littorea.
3. Zona belakang : Jenis mangrove yang tumbuh pada zona ini adalah Bruguiera parviflora, B. cylindrica, B. sexangula, Ceriops tagal, Aegiceras corniculatum, Heritiera littoralis, Xylocarpus granatum, Excoecaria agalocha, lumnitzera littorea, Dolichandron spathacea dan Osbornea octodonta. Khusus pada daerah aliran sungai, pada zona ini akan tumbuh subur jenis Nypa fruticans.
4. Zona yang berbatasan dengan hutan darat : Jenis tumbuhan yang umum muncul pada lokasi ini adalah Achantus ebracteatus, Achantus ilicifolius, Sesuvium portulacastrum, Calophyllum inophyllum, Acrostichum aureum, A. speciosum, Baringtonia asiatica, Cerbera manghas, Hibiscus tiliaceus, Derris trifolia, Pemphis acidula, Ipomea pes-caprae, Pandanus tectorius, Pongamia pinnata, dan Thespesia populnea.
D. Pola Adaptasi
Menurut Bengen (2004), mangrove dapat beradaptasi dengan lingkungan yang ekstrim. Adaptasi tersebut antara lain adalah :
1. Adaptasi terhadap kadar oksigen rendah. Pohon mangrove memiliki bentuk perakaran yang khas : bertipe cakar ayang yang mempunyai pneumatofora misalnya pada Avicennia spp., Sonneratia spp., dan xylocarpus spp. Uuntuk mengambil oksigen dari udara. Selain itu, terdapat tipe akar penyangga/ tongkat yang mempunyai lentisel misalnya pada Rhyzophora spp.
2. Adaptasi terhadap kadar garam tinggi. Selain beradaptasi dengan oksigen rendah, mangrove juga dapat beradaptasi terhadap kadar garam yang tinggi. Untuk beradaptasi terhadap kadar garam yang tinggi, mangrove memiliki sel-sel khusus dalam daun yang berfungsi untuk menyimpan garam. Daun tebal dan kuat yang banyak mengandung air untuk mengatur keseimbangan garam. Daunnya memiliki stomata khusus untuk mengurangi penguapan.
3. Adaptasi terhadap tanah yang kurang stabil dan adanya pasang surut. Struktur perakaran mengrove sangat ekstensif dan membentuk jaringan horizontal yang lebar sehingga dapat hidup pada daerah dengan tanah yang kurang stabil dan dipengaruhi pasang surut. Disamping untuk memperkokoh pohon, akar tersebut juga berfungsi untuk mengambil unsure hara dan menahan sedimen.
E. Parameter Lingkungan Yang Berpengaruh Pada Pertumbuhan Mangrove.
Komunitas mangrove memiliki struktur yang tidak seragam secara fungsional antara komunitas satu dan yang lainnya walupun di dalam satu komunitas, heterogenitas tersebut terlihat sangat jelas. Perbedaan di dalam dan di antara komunitas mangrove di sebabkan oleh sejumlah faktor lingkungan yakni abiotik, biotik dan faktor fotuitous (yang secara kebetulan) yang mengakibatkan perbedaan individu spesies mangrove (Kusmana, 2001).
Kusmana dkk (2003) mengatakan bahwa pertumbuhanmangrove dipengaruhi oleh beberapa faktor lingkungan antara lain :
1. Iklim
a. Cahaya
Umumnya tanaman mangrove membutuhkan intensitas cahaya matahari tinggi dan penuh, sehingga zona pantai tropis merupakan habitat ideal bagi mangrove. Kisaran intensitas cahaya optimal untuk pertumbuhan mangrove adalah 3000-3800 kkal/m2/hari. Pada saat masih kecil (semai) tanaman manrove memerlukan naungan. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa :
- Intensitas cahaya 50% dapat meningkatkan daya tumbuh bibit Rhizophora mucronata dan R. apiculata.
- Intensitas cahaya 75% mempercepat pertumbuhan bibit Bruguiera gymnorhiza.
- Intensitas cahaya 75% mempercepat pertumbuhan tingi bibit R. mucronata, R. apiculata dan B. gymnorhiza.
b. Curah hujan
Curah hujan mempengaruhi faktor lingkungan seperti suhu air dan udara, salinitas air permukaan tanah dan air tanah yang berpengaruh pada daya tahan spesies mangrove. Dalam hal ini, mangrove tumbuh subur di daerah dengan curah hujan rata-rata 1500-3000 mm/tahun.
c. Suhu udara
Suhu yang baik untuk pertumbuhan mangrove tidak kurang dari 20 0C dan perbedaan suhu musiman tidak melebihi 5 0C kecuali diafrika timur yang memilki perbedaan suhu mesiman mencapai 10 0C. Saparinto (2007).Kisaran suhu optimum untuk mangrove jenis Avicennia sp pada suhu 18-20 0C, Rhizophora sp, Ceriops sp, excoecaria, Lumnitzera sp pertumbuhan baik pada suhu 26-28 0C, sedang Bruguiera sp pada suhu 27 0C, dan Xylocarpus sp berkisar 21-28 0C.
d. Angin
Angin berpengaruh terhadap ekosistem mangrove melalui aksi gelombang dan arus pantai yang dapat menyebabkan abrasi dan mengubah sturuktur mangrove, meningkatkan evapotransportasi dan angin kuat dapat menghalangi pertumbuhan dan menyebabkan karakteristik fisiologis abnormal, namun demikian, diperlukan untuk proses polinasi dan penyebaran benih tanaman.
2. Pasang surut
Pasang surut menentukan zonasi komunitas flora dan fauna mangrove. Durasi pasang surut berpengaruh besar terhadap perubahan salinitas pada tanah mangrove. Salinitas air menjadi sangat tinggi saat pasang naik dan menurun saat pasang surut. Perubahan tingkat salinitas pada saat pasang merupakan salah satu faktor yang membatasi distribusi spesies mangrove, terutama distribusi horizontal. Pada area yang selalu tergenang hanya Rhyzophora mucronata yang tumbuh baik, sedangkan Bruguiera spp dan Xylocarpus spp. Jarang mendominasi daerah yang sering tergenang.
3. Gelombang dan arus
Gelombang pantai yang sebagian besar dipengaruhi angin merupakan penyebab penting abrasi dan suspensi sedimen. Pada pantai berpasir dan berlumpur, gelombang dapat membawa partikel pasir dan sedimen laut. Partikel besar atau kasar akan mengendap, terakumulasi membentuk pantai berpasir. Mangrove akan tumbuh pada lokasi yang arusnya tenang.
4. Salinitas
Salinitas air dan salinitas tanah rembesan merupakan faktor penting dalam pertumbuhan, daya tahan dan zonasi spesies mangrove. Tumbuhan mangrove tumbuh subur di daerah estuaria dengan salinitas 10-30 ppt. beberapa spesies dapat tumbuh di daerah dengan salinitas sangat tinggi. di Australia dilaporkan A. marina dan E. agallocha dapat tumbuh dengan salinitas maksimum 63 ppt, Ceriops spp., Sonneratia spp. 44 ppt, R. apiculata 65 ppt dan R. stylosa 74 ppt.
F. Faktor penyebab dan dampak kerusakan ekosistem mangrove.
Pengalihan fungsi areal hutan mangrove menjadi daerah pertambakan dapat menyebabkan meningkatnya masa genangan air sehingga menjadi tempat yang baik bagi perkembang biakan nyamuk. Selain itu, penebangan hutan mangrove untuk keperluan kayu bakar dan pembuatan arang, serta pengambilan kulit pohon untuk penyamak kulit secara tidak terencana dapat menyebabkan kerusakan ekosistem mangrove. Kerusakan-kerusakan ekosistem mangrove dapat menyebabkan terganggunya salah satu fungsi mangrove yaitu sebagai penyerap logam berat sehingga tidak masuk kedalam jaringan makanan. Kerusakan hutan mangrove dapat menimbulakn banyak dampak. Salah satu kerusakan yang ditimbulkan ari rusaknya sebuah ekosistem mangrove adalah adanya peningkatan laju intrusi air laut kea rah daratan (Tuwo, 2011).
Menurut Saparinto (2007). Beberapa hal yang menyebabkan kerusakan ekosistem mangrove adalah (1) tekanan penduduk yang tinggi sehingga permintaan konversi mangrove juga semakin tinggi, (2) perencanaan dan pengelolaan sumberdaya pesisir dimasa lalu bersifat sangat sektoral, (3) rendahnya kesadaran masyarakat tentang konservasi dan fungsi ekosistem mangrove, dan (4) kemiskinan masyarakat pesisir. Adapun dampak yang paling menonjol dari kerusakan ekosistem mangrove adalah secara fisik dan ekologis. Dampak secara fisik adalah erosi pantai, kerusakan perumahan dan harta benda akibat badai serta terjadinya intrusi air laut. Secara ekologi, kerusakan mangrove dapat mengakibatkan adanya penurunan kesuburan perairan dan kualitas perairan pesisir. Kerusakan mangrove bagi perikanan pesisir akan mengakibatkan menurunnya penyediaan benih alami, stok perikanan, menurunnya kualitas air laut yang akan digunakan untuk media budidaya tambak atau laut, dan menurunnya hasil tangkapan nelayan setempat.
Menurut Bengen (2004), dengan pertumbuhan penduduk yang tinggi dan pesatnya pembangunan di pesisir bagi berbagai peruntukan (pemukiman, perikanan, pelabuhan dll), tekanan ekologis terhadap ekosistem pesisir, hususnya ekosistem hutan mangrove, semakin meningkat pula. Meningkatnya tekanan ini tentunya berdampak terhadap kerusakan ekosistem hutan mangrove baik secara langsung (misalnya kegiatan penebangan atau konversi lahan) maupun ecara tidak langsung (misalnya pencemaran oleh limbah berbagai kegiatan pembangunan).
Table 1. Dampak Kegiatan Manusia Pada Ekosistem Hutan Mangrove.
No. Kegiatan Dampak potensial
1. Tebang habis • Berubahnya komposisi hutan mangrove.
• Tidak berfungsinya daerah mencari makanan dan pengasuhan.

2. Pengalihan aliran air tawar, misalnya pada pembangunan irigasi.
• Peningkatan salinitas hutan mangrove.
• Menurunnya tingkat kesuburan hutan.
3. Konversi menjadi lahan pertanian, perikanan, pemukiman, dan lain-lain.
• Mengancam regenerasi stock ikan dan udang di perairan lepas pantai yang memerlukan hutan mangrove.
• Terjadi pencemaran laut oleh bahan pencemar yang sebelumnya diikat oleh substrat hutan mangrove.
• Pendangkalan perairan pantai.
• Erosi garis pantai dan intrusi garam.
4. Pembuangan sampah cair. • Penurunan kandungan Oksigen terlarut, timbul gas H2S.

5. Pembuangan sampah cair. • Kemungkinan terlapisnya pneumatofora yang mengakibatkan matinya pohon mangrove.
• Perembesan bahan-bahan pencemar dalam sampah padat.

6. Pencemaran minyak tumpahan. • Kematian pohon mangrove.
7. Penambangan dan ekstraksi mineral, baik di dalam hutan maupun didaratan sekitar mangrove. • Kerusakan total ekosistem mangrove, sehingga memusnahkan fungsi ekologis hutan mangrove (daerah mencari makanan, daerah asuhan dan daerah pemijahan).
• Pengendapan sedimen yang dapat mematikan pohon mangrove.

DAFTAR PUSTAKA
Adiwijaya, H. 2006. Kondisi Mangrove Pantai Timur Surabaya. Jurnal Ilmiah Teknik Lingkungan Vol.1 Edisi Khusus. Jurusan Teknik Lingkungan FTSP UPN “Veteran“, jawa Timur.

Anonim. 1990. Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati Dan Ekosistemnya.

Anonim. 2009. Peraturan Menteri Kelautan Dan Perikanan Republik Indonesia Nomor Per.02/MEN/2009 Tentang Tata Cara Penetapan Kawasan Konservasi Perairan.

Bengen, D.G. 2004. Sinopsis Ekosistem dan Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut Serta Prinsip Pengelolaannya. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan (PKSPL) IPB, Bogor.

Irwanto. 2006. Keaneka ragaman fauna pada mangrove. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.

Irwanto. 2007. Analisis Vegetasi Untuk Pengelolaan Kawasan Hutan Lindung Pulau Marsegu, Kabupaten Seram Bagian Barat, Provinsi Maluku. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.

Kusmana, C. dkk. 2003. Teknik Rehabilitasi Mangrove. Fakultas Kehutanan IPB. Bogor.

Hutchings, P. dan Saenger, P. 2000. Ecology Of Mangrove. Laboratorium Ekologi Hutan Fakultas Kehutanan IPB. Bogor.

Mulyadi, E., O. Hendriyanto, & N. Fitriani. 2006. KONSERVASI HUTAN MANGROVE SEBAGAI EKOWISATA. Jurnal Ilmiah Teknik Lingkungan Vol.1 Edisi Khusus. Jurusan Teknik Lingkungan FTSP UPN “Veteran“. jawa Timur.

Mulyadi, E., R. Laksmono, & D. Aprianti. 2006. Fungsi Mangrove Sebagai Pengendali Pencemar Logam Berat. Jurnal Ilmiah Teknik Lingkungan Vol.1 Edisi Khusus. Jurusan Teknik Lingkungan FTSP UPN “Veteran“, jawa Timur.

Pramudji. 2010. Ekosistem Mangrove. Pusat Penelitian Oceanografi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Jakarta.

Saparinto, C. 2007. Pendayagunaan ekosistem mangrove. Dahara prize. Semarang.

Supriharyono. 2009. Konservasi ekosistem sumber daya hayati. Pustaka belajar. Yogyakarta.

Tuwo, A. 2011. Pengelolaan ekowisata pesisir dan laut ; pendekatan ekologi, sosial-ekonomi, kelembagaan, dan sarana wilayah. Brilian Internasional. Sidoarjo.