Kamis, 06 Februari 2014

REHABILITASI EKOSISTEM MANGROVE

Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia.  Berdasarkan statusnya tersebut, Indonesia menjadi salah satu negara yang memiliki potensi sumber daya pesisir dan lautan sangat besar.  Potensi tersebut tersebar di seluruh ekosistem pesisir dan lautnya.  Ekosistem pesisir yang menjadi salah satu daerah dengan sumber daya alam melimpah tersebut adalah ekosistem mangrove.

Ekosistem mangrove merupakan suatu formasi hutan yang mampu tumbuh dan berkembang di daerah tropik dan subtropik pada lingkungan pesisir dan merupakan salah satu sumber daya alam yang sangat potensial.  Jika pelaksanaan pengelolaannya dilakukan dengan tidak bijaksana, keberadaan ekosistem mangrove dengan nilai ekonomis dan ekologis yang tinggi ini akan sulit dipertahankan.  Hal ini dapat terjadi karena ekosistem mangrove memiliki tingkat kerentanan yang sangat tinggi terhadap kerusakan yang ditimbulkan oleh adanya kegiatan manusia.

Nah, tau tidak seperti apa kondisi ekosistem mangrove yang ada di Indonesia saat ini?.  Menurut Direktorat Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial (RLPS) tahun 1999 luas hutan mangrove Indonesia adalah 8,6 juta ha yang terdiri atas 3,8 juta ha terdapat di kawasan hutan dan 4,8 juta ha terdapat di luar kawasan hutan.  Sementara itu, berdasarkan kondisinya diperkirakan bahwa 1,7 juta ha (44,73 %) di dalam kawasan hutan dan 4,2 juta ha (87,50 %) hutan mangrove di luar kawasan hutan dalam keadaan rusak (Saparinto, 2007).

Kondisis tersebut sangatlah memprihatinkan. Meskipun data tersebut adalah data tahun 1999, namun dengan makin pesatnya peningkatan pembangunan di Indonesia. rasanya tidak sulit untuk membayangkan kondisi ekosistem mangrove di Indonesia saat ini. Untuk melindungi kelestarian dari ekosistem mangrove, ada beberapa hal yang dapat dilakukan. Salah satunya adalah REHABILITASI ekosistem mangrove. Apasih rehabilitasi itu?.

Menurut Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor : P. 39/Menhut-ii/2010 Tentang Pola Umum, Kriteria, dan Standar Rehabilitasi dan Reklamasi Hutan, Rehabilitasi hutan dan lahan adalah upaya untuk mengembalikan dan meningkatkan fungsi hutan dan lahan sehingga daya dukung, produktivitas dan peranannya dalam mendukung sistem penyangga kehidupan tetap terjaga. Menurut Bengen (1999) Rehabilitasi hutan mangrove adalah upaya mengembalikan fungsi hutan mangrove yang mengalami degradasi kepada kondisi yang dianggap baik dan mampu mengemban fungsi ekologis dan ekonomis. Berbagai kegiatan penghijauan yang dilakukan terhadap hutan-hutan yang gundul merupakan salah satu upaya rehabilitasi yang bertujuan bukan saja untuk mengembalikan nilai estetika, namun yang paling utama adalah untuk mengembalikan fungsi ekologis kawasan hutan mangrove tersebut.  Kegiatan rehabilitasi ini telah menjadi salah satu andalan di beberapa kawasan hutan mangrove yang telah ditebas dan dialihkan fungsinya kepada kegiatan lain.

Dalam kegiatan rehabilitasi, diperlukan suatu sistem pengelolaan yang baik agar kegiatan tersebut dapat berjalan dengan baik dan mampu memberi manfaat secara optimal.  Banyak hal yang mesti dilakukan agar resiko kegagalan dalam kegiatan rehabilitasi dapat diminimalkan.  Oleh sebab itu, Kustanti (2011) mengemukakan bahwa dalam suatu kegiatan rehabilitasi diperlukan perencanaan yang tepat dari awal persiapan tanam sampai dengan pemeliharaan, monitoring dan evaluasi.  Perencanaan yang dilakukan adalah meliputi  luas lahan yang akan ditanam, jenis-jenis bibit yang diperlukan, jumlah dan kualitas bibit, pengangkutan, persiapan lapangan, persiapan bahan penanda tanaman, persiapan tenaga kerja, jadwal penanaman, pemeliharaan, monitoring dan evaluasi.

Beralih ke masalah penanaman, terdapat beberapa cara penanaman mangrove khususnya dalam kegiatan rehabilitasi yaitu penanaman yang dilakukan secara langsung maupun menggunakan anakan baik anakan yang berasal dari persemaian ataupun anakan yang berasal dari alam. Menurut Kustanti (2011), penanaman mangrove dapat dilakukan secara langsung dimana jenis-jenis pohon yang biasa ditanam dengan cara ini merupakan jenis dari api-api (Avicennia marina) dan dari jenis Rhizophoraceae  (Rhizophora apiculata dan R. mucronata).  Penanaman secara langsung ini memiliki beberapa keuntungan dan kelemahan. Kusmana dkk., (2003), mengemukakan bahwa penanaman mangrove secara langsung memiliki keuntungan seperti penanganannya yang lebih mudah karena propagul lebih ringan dan sederhana bentuknya; biaya penanamannya relativ murah karena tidak memerlukan biaya persemaian serta dapat dilakukan dalam waktu yang relativ singkat.  Namun, penanaman menggunakan cara ini memiliki kelemahan yaitu kegiatan penanaman hanya terbatas pada waktu musim berbuah masak dan propagul relativ lebih mudah diganggu oleh kepiting dan teritip.  

Selain penanaman secara langsung, mangrove dalam kegiatan rehabilitasi juga dapat ditanam dengan cara menggunakan anakan baik anakan yang berasal dari persemaian maupun anakan yang berasal dari alam.  Kusmana dkk., (2003) menyatakankan bahwa penanaman menggunakan anakan yang berasal dari persemaian merupakan sebuah cara yang efektif dalam mengatasi masalah pemangsaan oleh kepiting, kera, maupun gangguan dari tumbuhan pakis Acrosticum (sebagai gulma).  Jenis-jenis mangrove yang ditumbuhkan di persemaian biasanya mempunyai propagul pendek atau berupa biji. Keuntungan penanaman menggunakan anakan yang berasal dari persemaian ini antara lain yaitu lebih fleksibel dari segi jadwal penanaman, kualitas bahan tanaman lebih mudah untuk diseragamkan, peluang keberhasilannya lebih besar, pertumbuhannya lebih cepat serta cukup tahan terhadap gangguan hama.

Selanjutnya, Kusmana dkk., (2003) juga menjelaskan lebih lanjut bahwa selain penanaman secara langsung dan menggunakan anakan dari persemaian, penanaman mangrove juga dapat dilakukan dengan menggunakan anakan yang berasal dari alam.  Penggunaan anakan yang berasal dari alam mempunyai keunggulan antara lain yaitu lebih efektif dalam mengatasi faktor perusak seperti gangguan kepiting, monyet dan jenis paku (Acrosticum sp.).  Selain itu, penggunaan bibit dari alam ini lebih efisien dari segi biaya dibandingkan dengan menggunakan anakan yang berasal dari persemaian. Akan tetapi, penggunaan anakan dari alam ini lebih mahal dan hanya direkomendasikan pada beberapa tempat saja.

Dalam pelaksanaan kegiatan rehabilitasi atau penanaman mangrove, ada dua sistem penanaman yang sering digunakan.  Menurut Kusmana dkk., (2003), dua sistem penanaman yang sering digunakan tersebut adalah sistem banjar harian dan sistem tumpang sari atau yang lebih sering disebut dengan sistem wanamina (sylvofishery).  Sistem penanaman banjar harian merupakan sistem penanaman dimana benih atau bibit ditanam secara tegak.  Pada penanaman menggunakan benih, penanaman dilakukan dengan menghadapkan benih ke arah atas dengan kedalaman kurang lebih sepertiga dari panjang benih.  Adapun penanaman dengan menggunakan bibit, bibit ditanam secara tegak ke dalam lubang yang telah disiapkan dengan melepaskan kantong plastik atau botol air mineral bekas secara hati-hati agar tidak merusak akarnya. 

Pada penanaman mangrove dengan sistem wana mina (sylvofishery), prinsip penanaman benih atau bibit yang ada tidak memiliki perbedaan dengan sistem penanaman banjar harian.  Akan tetapi, sistem wana mina mnggunakan tambak/kolam  dan saluran air untuk membudidayakan ikan.  Sehingga, terdapat perpaduan antara tanaman mangrove (wana) dan budi daya sumber daya ikan (mina).  Secara umum, terdapat tiga pola dalam sistem  wana mina.  Ketiga pola tersebut antara lain adalah wanamina dengan pola empang parit dimana lahan untuk hutan mangrove dan empang masih menjadi satu hamparan yang diatur oleh satu pintu air; wanamina dengan pola empang parit yang disempurnakan dimana hutan mangrove dan empang diatur oleh saluran air yang terpisah; dan wana mina dengan pola komplangan dimana lahan untuk hutan mangrove dan empang terpisah dalam dua hamparan yang diatur oleh saluran air dengan dua pintu yang terpisah untuk hutan mangrove dan empang (Kustanti, 2011).

Penanaman mangrove dapat dilakukan dengan jarak tanam yang tergantung pada tujuan penanaman.  Kustanti (2011) menyatakan bahwa bilapenanaman mangrove dilakukan dengan tujuan untuk perlindungan pantai, bibit atau benih dapat ditanam pada jarak 1x1 m.  Tetapi jika untuk produksi, bibit atau benih mangrove dapat ditanam dalam jarak 2x2 m.  adapun pemilihan jenis tanaman yang akan ditanam, dapat disesuaikan dengan zonasi ataupun tujuan dari penanaman mangrove di lokasi tersebut.  Bilapenanaman mangrove dilakukan untuk penahan abrasi,  jenis pohon yang dapat ditanam adalah mangrove dari jenis Rhizophora spp.  Namun bila penanaman mangrove bertujuan untuk penghijauan, maka penanaman dapat dilakukan dengan memilih mangrove dari jenis Api-api (Avicennia spp.).

Bengen (1999) menyatakan bahwa pelestarian hutan mangrove merupakan suatu usaha yang sangat kompleks untuk dilaksanakan, karena kegiatan tersebut sangat membutuhkan sifat akomodatif terhadap segenap pihak baik yang berada di sekitar kawasan maupun di luar kawasan.  Pada dasarnya kegiatan ini dilakukan demi memenuhi kebutuhan dari berbagai kepentingan.  Namun demikian, sifat akomodatif ini akan lebih dirasakan manfaatnya jika keberpihakan dengan porsi yang lebih besar diberikan kepada masyarakat yang sangat rentan terhadap sumber daya mangrove.  Dengan demikian, yang perlu diperhatikan adalah menjadikan masyarakat sebagai komponen utama penggerak pelestarian hutan mangrove.  Oleh karena itu, persepsi masyarakat terhadap keberadaan hutan mangrove perlu untuk diarahkan kepada cara pandang masyarakat akan pentingnya sumber daya hutan mangrove.

 

REFRENSI

Bengen, D.G. 1999. Pedoman Teknis Pengenalan dan Pengelolaan Ekosistem Mangrove. Pusat  Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan (PKSPL).

Kusmana, C., S. Wilarso, I. Hilwan, P. Pamoengkas, C. Wibowo, T. Tiryana, A. Triswanto, Yunasfi, Hamzah, 2003. Teknik Rehabilitasi Mangrove. Fakultas Kehutanan IPB. Bogor. 177 Hal.

Kustanti, A., 2011. Manajemen Hutan Mangrove. IPB Press. Bogor. 348 hal.

Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor : P. 39/Menhut-ii/2010 Tentang Pola Umum, Kriteria, dan Standar Rehabilitasi dan Reklamasi Hutan, Rehabilitasi hutan dan lahan.

Saparinto, C. 2007. Pendayagunaan Ekosistem Mangrove. Dahara prize. Semarang. 236 hal.

 

 

*Perhatian : Bacaan ini adalah tulisan dari beberapa ahli yang kemudian dikumpulkan dan dikemas menjadi suatu pembahasan singkat mengenai REHABILITASI khususnya pada ekosistem mangrove.