REHABILITASI EKOSISTEM MANGROVE
Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar
di dunia. Berdasarkan statusnya
tersebut, Indonesia menjadi salah satu negara yang memiliki potensi sumber daya
pesisir dan lautan sangat besar. Potensi
tersebut tersebar di seluruh ekosistem pesisir dan lautnya. Ekosistem pesisir yang menjadi salah satu daerah
dengan sumber daya alam melimpah tersebut adalah ekosistem mangrove.
Ekosistem mangrove merupakan suatu
formasi hutan yang mampu tumbuh dan berkembang di daerah tropik dan subtropik
pada lingkungan pesisir dan merupakan salah satu sumber daya alam yang sangat
potensial. Jika pelaksanaan
pengelolaannya dilakukan dengan tidak bijaksana, keberadaan ekosistem mangrove
dengan nilai ekonomis dan ekologis yang tinggi ini akan sulit
dipertahankan. Hal ini dapat terjadi
karena ekosistem mangrove memiliki tingkat kerentanan yang sangat tinggi terhadap
kerusakan yang ditimbulkan oleh adanya kegiatan manusia.
Nah, tau tidak seperti apa kondisi
ekosistem mangrove yang ada di Indonesia saat ini?. Menurut Direktorat Jenderal Rehabilitasi
Lahan dan Perhutanan Sosial (RLPS) tahun 1999 luas hutan mangrove Indonesia
adalah 8,6 juta ha yang terdiri atas 3,8 juta ha terdapat di kawasan hutan dan
4,8 juta ha terdapat di luar kawasan hutan.
Sementara itu, berdasarkan kondisinya diperkirakan bahwa 1,7 juta ha (44,73
%) di dalam kawasan hutan dan 4,2 juta ha (87,50 %) hutan mangrove di luar
kawasan hutan dalam keadaan rusak (Saparinto, 2007).
Kondisis tersebut sangatlah
memprihatinkan. Meskipun data tersebut adalah data tahun 1999, namun dengan
makin pesatnya peningkatan pembangunan di Indonesia. rasanya tidak sulit untuk
membayangkan kondisi ekosistem mangrove di Indonesia saat ini. Untuk melindungi
kelestarian dari ekosistem mangrove, ada beberapa hal yang dapat dilakukan.
Salah satunya adalah REHABILITASI ekosistem mangrove. Apasih rehabilitasi itu?.
Menurut Peraturan Menteri
Kehutanan Republik Indonesia Nomor : P. 39/Menhut-ii/2010 Tentang Pola Umum, Kriteria,
dan Standar Rehabilitasi dan Reklamasi Hutan, Rehabilitasi hutan dan lahan adalah
upaya untuk mengembalikan dan meningkatkan fungsi hutan dan lahan sehingga daya
dukung, produktivitas dan peranannya dalam mendukung sistem penyangga kehidupan
tetap terjaga. Menurut
Bengen (1999) Rehabilitasi hutan mangrove adalah upaya mengembalikan fungsi
hutan mangrove yang mengalami degradasi kepada kondisi yang dianggap baik dan
mampu mengemban fungsi ekologis dan ekonomis. Berbagai kegiatan penghijauan
yang dilakukan terhadap hutan-hutan yang gundul merupakan salah satu upaya
rehabilitasi yang bertujuan bukan saja untuk mengembalikan nilai estetika,
namun yang paling utama adalah untuk mengembalikan fungsi ekologis kawasan
hutan mangrove tersebut. Kegiatan
rehabilitasi ini telah menjadi salah satu andalan di beberapa kawasan hutan
mangrove yang telah ditebas dan dialihkan fungsinya kepada kegiatan lain.
Dalam kegiatan rehabilitasi,
diperlukan suatu sistem pengelolaan yang baik agar kegiatan tersebut dapat
berjalan dengan baik dan mampu memberi manfaat secara optimal. Banyak hal yang mesti dilakukan agar resiko
kegagalan dalam kegiatan rehabilitasi dapat diminimalkan. Oleh sebab itu, Kustanti (2011) mengemukakan
bahwa dalam suatu kegiatan rehabilitasi diperlukan perencanaan yang tepat dari
awal persiapan tanam sampai dengan pemeliharaan, monitoring dan evaluasi.
Perencanaan yang dilakukan adalah meliputi luas lahan yang akan ditanam, jenis-jenis
bibit yang diperlukan, jumlah dan kualitas bibit, pengangkutan, persiapan
lapangan, persiapan bahan penanda tanaman, persiapan tenaga kerja, jadwal
penanaman, pemeliharaan, monitoring
dan evaluasi.
Beralih ke masalah
penanaman, terdapat beberapa cara penanaman mangrove khususnya dalam kegiatan
rehabilitasi yaitu penanaman yang dilakukan secara langsung maupun menggunakan
anakan baik anakan yang berasal dari persemaian ataupun anakan yang berasal
dari alam. Menurut Kustanti (2011), penanaman mangrove dapat dilakukan secara
langsung dimana jenis-jenis pohon yang biasa ditanam dengan cara ini merupakan
jenis dari api-api (Avicennia marina)
dan dari jenis Rhizophoraceae (Rhizophora apiculata dan R. mucronata). Penanaman secara langsung ini memiliki
beberapa keuntungan dan kelemahan. Kusmana dkk.,
(2003), mengemukakan bahwa penanaman mangrove secara langsung memiliki
keuntungan seperti penanganannya yang lebih mudah karena propagul lebih ringan dan sederhana bentuknya; biaya penanamannya
relativ murah karena tidak memerlukan biaya persemaian serta dapat dilakukan
dalam waktu yang relativ singkat. Namun,
penanaman menggunakan cara ini memiliki kelemahan yaitu kegiatan penanaman hanya
terbatas pada waktu musim berbuah masak dan propagul
relativ lebih mudah diganggu oleh kepiting dan teritip.
Selain penanaman secara
langsung, mangrove dalam kegiatan rehabilitasi juga dapat ditanam dengan cara
menggunakan anakan baik anakan yang berasal dari persemaian maupun anakan yang
berasal dari alam. Kusmana dkk., (2003) menyatakankan bahwa
penanaman menggunakan anakan yang berasal dari persemaian merupakan sebuah cara
yang efektif dalam mengatasi masalah pemangsaan oleh kepiting, kera, maupun gangguan
dari tumbuhan pakis Acrosticum
(sebagai gulma). Jenis-jenis mangrove
yang ditumbuhkan di persemaian biasanya mempunyai propagul pendek atau berupa biji. Keuntungan penanaman menggunakan
anakan yang berasal dari persemaian ini antara lain yaitu lebih fleksibel dari
segi jadwal penanaman, kualitas bahan tanaman lebih mudah untuk diseragamkan,
peluang keberhasilannya lebih besar, pertumbuhannya lebih cepat serta cukup
tahan terhadap gangguan hama.
Selanjutnya, Kusmana dkk., (2003) juga menjelaskan lebih
lanjut bahwa selain penanaman secara langsung dan menggunakan anakan dari
persemaian, penanaman mangrove juga dapat dilakukan dengan menggunakan anakan
yang berasal dari alam. Penggunaan
anakan yang berasal dari alam mempunyai keunggulan antara lain yaitu lebih
efektif dalam mengatasi faktor perusak seperti gangguan kepiting, monyet dan
jenis paku (Acrosticum sp.). Selain itu, penggunaan bibit dari alam ini
lebih efisien dari segi biaya dibandingkan dengan menggunakan anakan yang
berasal dari persemaian. Akan tetapi, penggunaan anakan dari alam ini lebih
mahal dan hanya direkomendasikan pada beberapa tempat saja.
Dalam pelaksanaan kegiatan
rehabilitasi atau penanaman mangrove, ada dua sistem penanaman yang sering
digunakan. Menurut Kusmana dkk., (2003), dua sistem penanaman yang
sering digunakan tersebut adalah sistem banjar harian dan sistem tumpang sari
atau yang lebih sering disebut dengan sistem wanamina (sylvofishery). Sistem
penanaman banjar harian merupakan sistem penanaman dimana benih atau bibit
ditanam secara tegak. Pada penanaman
menggunakan benih, penanaman dilakukan dengan menghadapkan benih ke arah atas
dengan kedalaman kurang lebih sepertiga dari panjang benih. Adapun penanaman dengan menggunakan bibit,
bibit ditanam secara tegak ke dalam lubang yang telah disiapkan dengan
melepaskan kantong plastik atau botol air mineral bekas secara hati-hati agar
tidak merusak akarnya.
Pada penanaman mangrove
dengan sistem wana mina (sylvofishery),
prinsip penanaman benih atau bibit yang ada tidak memiliki perbedaan dengan
sistem penanaman banjar harian. Akan
tetapi, sistem wana mina mnggunakan tambak/kolam dan saluran air untuk membudidayakan ikan. Sehingga, terdapat perpaduan antara tanaman
mangrove (wana) dan budi daya sumber daya ikan (mina). Secara umum, terdapat tiga pola dalam
sistem wana mina. Ketiga pola tersebut antara lain adalah
wanamina dengan pola empang parit dimana lahan untuk hutan mangrove dan empang
masih menjadi satu hamparan yang diatur oleh satu pintu air; wanamina dengan pola
empang parit yang disempurnakan dimana hutan mangrove dan empang diatur oleh
saluran air yang terpisah; dan wana mina dengan pola komplangan dimana lahan
untuk hutan mangrove dan empang terpisah dalam dua hamparan yang diatur oleh
saluran air dengan dua pintu yang terpisah untuk hutan mangrove dan empang
(Kustanti, 2011).
Penanaman mangrove dapat
dilakukan dengan jarak tanam yang tergantung pada tujuan penanaman. Kustanti (2011) menyatakan bahwa
bilapenanaman mangrove dilakukan dengan tujuan untuk perlindungan pantai, bibit
atau benih dapat ditanam pada jarak 1x1 m.
Tetapi jika untuk produksi, bibit atau benih mangrove dapat ditanam
dalam jarak 2x2 m. adapun pemilihan jenis
tanaman yang akan ditanam, dapat disesuaikan dengan zonasi ataupun tujuan dari
penanaman mangrove di lokasi tersebut.
Bilapenanaman mangrove dilakukan untuk penahan abrasi, jenis pohon yang dapat ditanam adalah
mangrove dari jenis Rhizophora spp. Namun bila penanaman mangrove bertujuan untuk
penghijauan, maka penanaman dapat dilakukan dengan memilih mangrove dari jenis
Api-api (Avicennia spp.).
Bengen (1999) menyatakan bahwa pelestarian hutan mangrove
merupakan suatu usaha yang sangat kompleks untuk dilaksanakan, karena kegiatan
tersebut sangat membutuhkan sifat akomodatif terhadap segenap pihak baik yang
berada di sekitar kawasan maupun di luar kawasan. Pada dasarnya kegiatan ini dilakukan demi
memenuhi kebutuhan dari berbagai kepentingan.
Namun demikian, sifat akomodatif ini akan lebih dirasakan manfaatnya
jika keberpihakan dengan porsi yang lebih besar diberikan kepada masyarakat
yang sangat rentan terhadap sumber daya mangrove. Dengan demikian, yang perlu diperhatikan
adalah menjadikan masyarakat sebagai komponen utama penggerak pelestarian hutan
mangrove. Oleh karena itu, persepsi
masyarakat terhadap keberadaan hutan mangrove perlu untuk diarahkan kepada cara
pandang masyarakat akan pentingnya sumber daya hutan mangrove.
REFRENSI
Bengen, D.G.
1999. Pedoman Teknis Pengenalan dan Pengelolaan Ekosistem Mangrove. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan (PKSPL).
Kusmana, C., S.
Wilarso, I. Hilwan, P. Pamoengkas, C. Wibowo, T. Tiryana, A. Triswanto,
Yunasfi, Hamzah, 2003. Teknik Rehabilitasi Mangrove. Fakultas Kehutanan IPB.
Bogor. 177 Hal.
Kustanti, A.,
2011. Manajemen Hutan Mangrove. IPB Press. Bogor. 348 hal.
Peraturan
Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor : P. 39/Menhut-ii/2010 Tentang Pola
Umum, Kriteria, dan Standar Rehabilitasi dan Reklamasi Hutan, Rehabilitasi hutan dan lahan.
Saparinto, C.
2007. Pendayagunaan Ekosistem Mangrove. Dahara prize. Semarang. 236 hal.
*Perhatian : Bacaan ini adalah tulisan dari beberapa ahli yang
kemudian dikumpulkan dan dikemas menjadi suatu pembahasan singkat mengenai
REHABILITASI khususnya pada ekosistem mangrove.